kata pengantar
dengan dasar ini saya membuat suatu makalah untuk tugas softkill ,dalam kehidupan di dunia ini kita tidak boleh sombong . kita semua harus bersyukur terhadap allah swt. karena tidak ada yang bisa menentang perintah nya dan larangan nya.
dengan dasar ini juga saya ingin berbagi ilmu kepada semua nya khusus nya kepada teman - teman.
saya tidak lupa tuk mengucapkan puji dan syukur kami kepada tuhan yang maha esa karna rahmat nya dan anugerah nyasaya bisa menyelesaikan makala ni dengan sebaik mungkin.
masyarakat yang tidak ingin meninggalkan tempat tinggal nya
| Pengungsi Gangguan Mental Mulai Terdeteksi | |
YOGYAKARTA – Dari 10.647 pengungsi di 22 Tempat Pengungsian Sementara (TPS) yang ada di wilayah DIY, ada sebesar 5,26% pengungsi atau sebanyak 560 pengungsi telah menderita gangguan mental. Gangguan mental yang paling banyak dialami ialah insomnia atau susah tidur, yakni mencapai 20% dan stres akibat kejadian traumatik sebesar 14,6%. Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan dr Irmansyah SpKJ mengatakan, dalam kondisi bencana seperti saat ini jelas dapat dipastikan akan terjadi peningkatan jumlah gangguan mental para korban bencana yang dapat meningkat berkali-kali lipat dari kondisi normal. “Peningkatan penderita gangguan jiwa memang selalu terjadi di setiap kejadian bencana.Untuk bencana erupsi Merapi kali ini, kami menemukan sebesar 5,26% pengungsi di 22 TPS yang menderita gangguan mental dari yang ringan hingga yang berat,” ujarnya di Media Center Posko BNPB Gedung Pusat Informasi dan Pengembangan Permukiman dan Bangunan (PIP2B) Yogyakarta. Dia menjelaskan, angka tersebut bukanlah angka yang dapat menggambarkan kondisi sebenarnya. Angka tersebut hanya menjadi sampel bahwa memang ada peningkatan gangguan jiwa. Karena data tersebut hanya berdasarkan para pengungsi yang memang bersedia memeriksakan diri mereka pada tenaga kesehatan yang ada di tiap TPS. Sementara itu,Staf Ahli Bidang Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi Kementerian Kesehatan Krishnajaya menjelaskan, ketersediaan obatobatan hingga saat ini masih cukup memadai. Tak hanya menyediakan tenaga medis dan obat saja, Kementerian Kesehatan juga melakukan beberapa survei terhadap kualitas udara dan air pascaerupsi Merapi. (ratih keswara). Ratusan Pengungsi Merapi Nekat Balik ke Rumah Ratusan pengungsi Gunung Merapi nekat kembali ke daerahnya masing-masing. Padahal tempat tinggalnya masuk dalam kategori daerah rawan bencana Merapi, baik 15 kilometer maupun 10 kilometer dari puncak. Salah satu keluarga yang nekat kembali ke tempat tinggalnya adalah Sukasno (52) warga Dusun Kedun, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sukasno bersama dengan kedua anak laki-lakinya memutuskan pulang ke rumahnya, karena ingin mengetahui kondisi rumahnya setelah dua pekan ditinggal mengungsi di Gedung Jogja Ekspo Center (JEC). "Sebelum zona rawan bencana merapi diturunkan, kami juga sering pulang ke rumah untuk memberikan makan unggas dan sapi peliharaan," kata Sukasno, saat ditemui di Gedung Jogja Ekspo Center (JEC), Minggu 21 November 2010. Sukasno mengaku, untuk bisa sampai ke rumahnya yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari Kali Kuning harus kucing-kucingan dengan petugas SAR maupun aparat kepolisian yang menjaga akses jalan masuk ke kampungnya. "Biar lebih mudah saya sengaja meninggalkan istri dan kempat anak saya yang masih kecil di pengungsian. Sementara anak saya yang besar membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah," ujarnya. Kondisi rumah kata Sukasno cukup memprihatinkan, semua berwarna putih kecoklatan karena tertutup abu vulkanik. Bahkan abu vulkanik juga masuk ke rumahnya dengan ketebalan di atas 1 cm. "Sampai saat ini saya belum selesai membersihkan abu vulkanik yang ada di dalam rumah, apalagi abu vulkanik yang berada di kandang unggas sehingga setiap pulang pasti membawa masker," ujarnya. Sukasno mengaku nekat dan pasrah jika nantinya ketahuan oleh petugas, sebab di lokasi pengungsian tidak ada yang bisa dikerjakan. Sedangkan kebutuhan keluarga setiap hari harus mengeluarkan uang meski untuk kebutuhan makan, susu bayi, dan kesehatan sangat dicukupi oleh petugas posko pengungsian di JEC. "Saya bisa stres kalau terlalu lama tinggal di pengungsian. Lebih baik saya menengok rumah maupun lahan pertanian sembari mengerjakan apa yang bisa dikerjakan," ujarnya. Suhartini (46) istri dari Sukasno mengaku selama di pengungsian juga memikirkan kondisi rumah, hewan peliharaan dan juga sawah. Namun karena disibukkan dengan mengurus anaknya yang masih balita terpaksa hanya berdiam diri di pengungsian. "Selama dua pekan mengungsi, saya pernah pulang melihat rumah sebanyak 3 kali. Yang terkahir setelah zona bahaya dipersempit. Namun, pulang hanya setengah hari belum selesai membersihkan rumah dari abu vulkanik," ujarnya. Suhartini mengaku ingin segera pulang ke rumahnya karena sudah tidak tahan lagi di pengungsian. Apalagi beberapa tetangganya juga sudah pulang ke kampungnya meski masih masuk daerah zona rawan erupsi merapi. "Kampung saya dari puncak merapi sekitar 12 kilometer dan hanya sekitar 300 meter jaraknya dari kali kuning. Sebenarnya takut untuk pulang, namun kalau suami mengajak pulang saya juga akan pulang," ujarnya. Wanti salah seorang petugas di posko pengungsian JEC mengatakan sejak zona rawan bahaya di persempit, ratusan pengungsi telah meninggalkan JEC untuk kembali ke kampung halamannya. "Warga pulang tidak saja yang berasal dari daerah masuk daerah aman bencana merapi, namun warga yang daerahnya masuk zona rawan merapi juga ikut-ikutan pulang seperti warga dari Kecamatan Cangkringan atau Kecamatan Pakem," ujarnya. Petugas sendiri tidak bisa berbuat banyak karena para pengungsi yang ingin kembali ke tempat tinggalnya mempunyai berbagai alasan. Salah satunya ingin pindah ke barak pengungsian yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Namun, dalam kenyataannya mereka pulang ke rumah. "Kita hanya mendata siapa saja keluarga yang telah pulang atau pindah ke barak lain mendekati rumahnya," ujarnya. Di posko pengungsian JEC sendiri kata Wanti, pada awal erupsi ke dua yaitu pada 5 November menerima lebih dari 1.500 pengungsi, namun setelah zona rawan merapi diturunkan, saat ini hanya ada sekitar 500-an pengungsi. "Besok ada sekitar 120 kepala keluarga yang berasal dari Kecamatan Pakem juga akan kembali ke tempat tinggalnya karena sudah tidak lagi masuk zona rawan erupsi merapi," ujarnya. (pet) Laporan: Juna Sanbawa | Yogyakarta. Penduduk Nekat Bertahan Meski Aktivitas Merapi Meningkat Semarang - Aktivitas Gunung Merapi yang berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta kembali meningkat pada hari Rabu, ditandai dengan semburan awan panas yang mengakibatkan hujan abu vulkanik ke sejumlah daerah. Sejumlah desa di wilayah barat daya Gunung Merapi di kawasan Kabupaten Magelang, diguyur hujan air disertai debu vulkanik akibat letusan gunung berapi tersebut. Pantauan ANTARA, hujan abu cukup intensif tersebut terjadi sekitar pukul 08.30-08.45 WIB, menyusul luncuran awan panas yang mengarah ke Selatan, disertai tiupan angin ke arah barat. Sejumlah desa yang diguyur hujan abu tersebut, di antaranya, Desa Krinijng, Karangkoco, Babadan, Semen serta Grogol, yang semuanya berada di Kecamatan Dukun. Para warga tampak menggunakan jas hujan akibat guyuran hujan air yang disertai debu vulkanik gunung berapi yang ada di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta itu. Langit di sekitar kawasan tersebut tampak berwarna hitam akibat tertutup debu vulkanik Merapi. "Betul, warna hitam di langit itu karena terjadi hujan abu," kata petugas Pos Pengamatan Gung Merap di Krinjing, Magelang, Yulianto. Hujan abu juga melanda hampir merata di wilayah Kabupaten Boyolali, menyusul Gunung Merapi yang menyemburkan awan panas susulan, sekitar pukul 15.30 WIB. Pantauan ANTARA di Boyolali, semburan awan panas tersebut menyebabkan terjadinya hujan abu pekat di wilayah Kecamatan Selo, Musuk, Cepogo, Ampel, dan Boyolali Kota. Akibat pekatnya hujan abu vulkanik tersebut, mengganggu penglihatan warga sekitar, karena jarak pandang yang terbatas. Selain itu, akibat semburan awan panas Merapi juga dirasakan bau belerang yang menyengat di wilayah Kecamatan Musuk dan Cepogo. Setiyono, tokoh masyarakat yang juga relawan di Musuk, mengatakan, warga di Kecamatan Musuk terutuma di Dukuh, Sangup, Mriyan, Cluntang, dan Lanjaran, dikosongkan, karena hujan abu pekat dan bau belerang. Menurut dia, warga diupayakan untuk diungsikan ke Desa Sumur dan Jemowo di Musuk atau tempat yang lebih aman. "Desa Jemowo, kondisi gelap gulita sehingga evakuasi tidak dapat dilakukan," kata Setiyono. Bau belerang yang cukup menyengat tercium di sejumlah dusun di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bersamaan dengan letusan Gunung Merapi pada Rabu sekitar pukul 14.45 WIB. Hujan deras mengguyur kawasan tersebut disertai petir serta langit yang berwarna putih kecoklatan akibat debu vulkanik Merapi. Akibat bau belerang yang cukup menyengat tersebut, para warga dari sejumlah dusun memutuskan meninggalkan tempat tinggalnya dan berkumpul di Balai Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Magelang. "Kami sudah meninggalkan dusun karena bau menyengat ini," kata Kisno (45), warga Dusun Gemer, Dukun, Magelang. Jarak antara dusun-dusun yang masuk dalam kawasan rawan bencana Gunung Merapi tersebut mencapai dua kilometer dari Balai Desa Ngargomulyo. Pernyataan senada disampaikan Anton (24), warga Desa Sumber, yang tempat tinggalnya berjarak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi. Meski aktivitas gunung berapi teraktif di dunia ini kembali bergolak, tidak sedikit warga yang tinggal di sekitar kawasan rawan bencana justru bertahan atau nekat kembali pulang ke rumah, dari pengungsian. Sejumlah warga memilih bertahan di beberapa dusun di Desa Ngargomulyo yang menjadi wilayah terakhir yang terletak dekat puncak Gunung Merapi, meski kawasan itu sempat diguyur hujan abu vulkanik lebat dan tercium bau belerang yang menyengat. Menurut Ketua Tim Relawan Paroki Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, Bram Setyobinangun, sejumlah warga di beberapa dusun terakhir tersebut memilih bertahan untuk menjaga barang-barang dan ternak mereka. Bram mengaku baru saja memberikan bantuan makanan didampingi anggota timnya, Ponco di sejumlah dusun tersebut, antara lain Dusun Ngandong, Karanganyar, Tangkil, dan Gemer. Para warga terlihat berkumpul di sejumlah lokasi. "Para warga berkumpul di rumah salah seorang penduduk dan di pos ronda dengan mengenakan masker, namun sebagian besar warga dusun-dusun tersebut memang sudah mengungsi ke Balai Desa Ngargomulyo," kata Bram. Berdasarkan pantauan ANTARA, hujan abu vulkanik yang sempat mengguyur menyebabkan ruas-ruas jalan di kawasan tersebut becek akibat campuran abu vulkanik dan air hujan. Listrik di kawasan tersebut sampai saat ini masih padam, namun langit di bagian barat puncak Merapi sudah terlihat lebih cerah, dan gelegar petir juga sudah tidak terdengar lagi. Sebelumnya, sejumlah warga di beberapa dusun di lereng Merapi mulai mencium bau belerang yang cukup menyengat, seiring letusan Gunung Merapi yang terjadi sekitar pukul 14.45 WIB. Dari Boyolali, sejumlah pengungsi di Tempat Pengungisan Akhir Desa Samiran, Kecamatan Selo, nekat pulang ke rumah di malam hari karena merasa jenuh tinggal di pengungsian. Keterangan yang dikumpulkan dari sejumlah pengungsi di TPA Desa Samiran, Rabu, menyebutkan, pada malam hingga dini hari mereka merasa sangat kedingingan sehingga banyak yang tidak bsa tidur. "Kemarin (Selasa) pukul 03.00 WIB saya pulang ke rumah karena sudah tidak kuat menahan dingin di tenda pengungsian," kata Muljinem (60)m warga Dusun Ngablak, Desa Samiran, ketika ditemui di dalam tenda pengungsian. Muljinem yang mengaku divonis dokter mengidap alergi hawa dingin itu menyataka selama tiga hari di pengungsian tidak sulit tidur pada malam hingga dini hari. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta para pengungsi letusan Gunung Merapi agar bersabar tinggal di pengungsian dan tidak buru-buru pulang ke rumah sebelum situasi benar-benar aman. Presiden mengatakan hal itu ketika meninjau korban letusan Gunung Merapi di Pos Pengungsian di Dompol, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu. "Saya tadi baru saja ketemu sama Pak Surono, ahli Gunung Merapi. Beliau minta warga agar tenang dan berada di pengungsian dulu. Jangan pulang ke rumah masing-masing karena Merapi masih berbahaya," kata Kepala Negara didampingi Ibu Ani Yudhoyono. Selama berada di pengungsian, kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan lain-lain dibantu pemerintah dan para donatur. "Kami ingin warga selamat dan saya juga selamat dari awan panas atau `wedhus gembel` yang dikeluarkan Merapi," kata Presiden. "Untuk itu kami minta kepada para pengungsi yang ada di Dompol atau di tempat lainnya jangan buru-buru pulang kalau Merapi belum dinyatakan aman benar," katanya. Presiden dalam kesempatan tersebut juga mengucapkan terima kasih kepada para relawan dan donatur yang telah memberikan bantuan kepada para pengungsi di daerah perbatasan Provinsi D.I. Yogjakarta dan Jawa Tengah. (ANT/K004). Mata Pencaharian Masyarakat jogja sawah dan ladang – ladang yang ada di daerah jawa tengah, merupakan sebuah kampung / desa yang boleh dikatakan kampung, Hal tersebut mengakibatkan adanya pengaruh terhadap sistem mata pencaharian masyarakat sekitar. Apabila masyarakat Jawa tengah yang berada di daerah tersebut memiliki ciri mata pencaharian yang homogen, maka bagi masyarakat jogja yang berada di daerah tersebut, diferensiasi dalam mata pencahariannya sudah berkembang, sehingga tidak lagi homogen, heterogenitas matapencaharian mulai nampak di daerah ini. Hildred Geertz menghubungkan jenis mata pencaharian dengan komposisi sosial, komposisi tersebut adalah ‘the urban elite’, yang terdiri atas kalangan diplomatik, penguasaha baik asing maupun pribumi; kemudian mereka yang disebut ‘the urban middle class’ yaitu yang terdiri atas kalangan pegawai menengah, pamongpraja, guru dan anggota tentara, dan yang terakhir disebut ‘the urban proletariat’ yang terdiri atas golongan buruh, pembantu rumah tangga, tukang beca, pedagang kecil, dan lain-lain. Melihat dari komposisi sosial sesuai dengan mata pencaharian penduduk Kampung Sawah termasuk ke dalam The urban Proletariat’. Namun Hildred Geertz sendiri tidak secara spesifik mengemukakan tentang klasifikasi ataupun komposisi sosial mata pancaharian masyarakat desa, ia hanya menulis “most villages are therefore fairly homogeneous both in economics condition and ingeneralou tlook”(1964:23). Perkembangan jaman yang cukup panjang dan berlanjut secara kontinu, menjadikan manusia tetap bertahan hidup. Proses perkembangan yang cukup panjang ini, secara hipotesis merupakan usaha manusia dalam mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan dalam mempertahankan hidup manusia di jaman dahulu pada sebuah komunitas yang masih sederhana, dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Berbeda dengan komunitas yang lebih maju, mereka mencoba di samping untuk memenuhi kebutuhan juga untuk disimpan dan atau ditukar dengan barang lain demi memenuhi kebutuhan benda lainnya. Jadi tidak saja benda yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang bersifat primer, melainkan dapat pula dijadikan atau ditukarkan dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat skunder. Pada awalnya, mata pencaharian hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengalami beberapa proses, dimulai dengan berburu, kemudian meramu dan pada akhirnya bercocok tanam. Menurut beberapa ahli, perkembangan mata pencaharian dari berburu, meramu kemudian menjadi bercocok tanam merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia (Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980 : 166). Sedangkan Kuntjaraningrat antara lain mengemukakan, sejak manusia timbul di muka bumi ini, kira-kira 1 juta tahun lalu, ia hidup dari berburu, sedangkan baru kira-kira 10000 tahun yang lalu ia mulai bercocok tanam. Rupanya bercocok tanam tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul dengan berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha bercocok tanam yang pertama merupakan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu. Kemudian mengalami perkembangan (1967: 31-32) Sementara itu, Adiwilaga, mengemukakan, sangat boleh jadi perkembangan pertanian itu tidak sederhana seperti digambarkan dalam hipotesa ini. Lodwek Milk meminta perhatian bahwa sejak awal permulaan dari kehidupan manusia di muka bumi ini, ada dua kelompok manusia yang satu dengan yang lain berbeda cara hidupnya. Yang satu kelompok pada dasarnya mempunyai hakekat yang cenderung ke arah bercocok tanam, kelompok yang satu lagi, sama sekali tidak mempunyai kecenderungan untuk bercocok tanam, melainkan memelihara ternak dan mengembala ternak. (1975 :5). Dari uraian di atas, dapat ditarik satu kesimpulan sederhana bahwa perkembangan sistem mata pencaharian ini merupakan perkembangan dari hal yang sederhana; berburu, meramu, kemudian bercocok tanam. Bercocok tanam ini pun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui suatu proses perjalanan yang panjang dengan memerlukan pengalaman yang terus menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, bercocok tanam pun mengalami perubahan yang mendasar, yaitu bercocok tanam di atas lahan basah dan lahan kering. Dewasa ini bercocok tanam di atas lahan basah kita kenal dengan sistem pertanian bersawah, sedangkan bercocok tanam di atas lahan kering kita kenal dengan berladang atau berkebun (huma, salah satu sistem pertanian padi yang dilakukan di atas lahan kering). Data lama yang menyatakan jumlah luas sawah di Pulau Jawa menyebutkan bahwa sekitar 3.848.000 ha, dan kurang lebih 1.162.811 ha berada di Jawa(Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 :171). Kini lahan persawahan tersebut semakin menyusut sesuai dengan perkembangan kebutuhan untuk peruntukkan perumahan dan lahan peruntukkan industri. Jawa Barat memiliki iklim yang baik untuk kebutuhan bercocok tanam atau bertani, yaitu iklim tropis dengan dua musim yang sangat mempengaruhi terhadap pertanian. Dengan iklim ini pula Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu wilayahnya yaitu Jawa Barat yang sangat subur, sehingga pertanian menjadi prioritas. Dan rakyatnya pun menjadikan pertanian adalah mata pencaharian utama. Dalam kaitan dengan masalah mata pencaharian hidup masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, Wertheim dalam ‘Indonesian Society in Transition’ membagi cara bercocok tanam masyarakat Indonesia menjadi tiga pola mata pencaharian utama, yaitu masyarakat pantai, masyarakat sawah, dan masyarakat ladang. (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 : 175). Apa yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Desa Cikaregeman Kabupaten Bekasi Jawa Barat, dalam bermatapencahariannya, mereka melakukan beberapa cara yang sesuai dengan kondisi dan topografi daerahnya. Kehidupan utama masyarakat Kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Hasil bercocok tanam padi di sawah dan di ladang (huma) tidak saja untuk dikonsumsi dalam kebutuhan keseharian, melainkan dijual kepada masyarakat lainnya. Begitu pula hasil pertanian pokok lainnya yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’ dijual ke kota Malang dengan cara diambil oleh ‘Bos Cikur’ yang datang dalam waktu seminggu sekali. Sedangkan hasil palawija lainnya seperti kacang panjang, sereh, kacang tanah, hasail perkebunan lainnya buah tangkil dan daunnya dijual ke pasar-pasar yang ada di sekitar kota Bekasi sendiri dan pasar induk Kota Bogor dan pasar induk Kramat Jati Jakarta. Mata pencaharian lainnya, seperti PNS, berdagang, membuat kursi dari bambu, penjahit, dan bahkan tujuan utama para pemuda Kampung Sawah yaitu sebagai buruh di pabrik-pabrik yang bertebaran di sekitar daerah Bekasi kota, Karawang, dan Kawasan Cikarang Lipo. Memang Kampung Sawah yang berada di Kabupaten Bekasi ini merupakan daerah yang berdekatan dengan kawasan industri yang sangat banyak memerlukan tenaga buruh. Pabrik-pabrik yang menjadi tujuan utama adalah pabrik semen, kertas, eletronik dan Astra group. Dengan banyaknya pabrik yang ada di sekitar Bekasi berdampak menyedot tenaga ke arah industri, sehingga para pemuda enggan untuk melakukan kegiatan pertanian, mereka lebih memilih jadi buruh di pabrik. Sistem penggajian yang dilakukan oleh pabrik sedikit lebih menjanjikan karena disesuaikan ,Maka dengan adanya sistem penggajian seperti ini, mereka beranggapan lebih baik menjadi buruh dibanding dengan petani. Ada motto yang mendukung mengapa mereka lebih baik mengambil menjadi buruh daripada petani. Bagi mereka, mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’. Secara alami apa yang terjadi diSecara alami apa yang terjadi didunia ini mengikuti hukum alam, yaitu sebab akibat. Kecuali jika ada penetrasi dari luar maka hukum tersebut tidak berlaku. Namun anda harus secara terus menerus memberikan pengaruh dari luar tersebut tanpa henti. Begitu pengaruh dari luar dihilangkan, maka akan kembali mengikuti hukum alam. Begitu pula manusia juga tunduk terhadap hukum alam. Maka apa yang kita tabur, itulah yang akan kita petik. Apa yang kita lakukan itulah yang akan diterima. Dengan mengikuti hukum tersebut, kita dapat mempelajari , kenapa seseorang menjadi kaya, sementara yang lain miskin. Setelah diamati ternyata ada perbedaan perilaku atau kebiasaan yang menyolok antara orang kaya dan orang miskin. Dan kebiasaan-kebiasaan itulah yang menyebabkan seseoarng menjadi kaya. Dengan demikan jika anda melakukan kebiasaan-kebiasan tersebut maka anda berada pada jalur yang benar menuju keberlimpahan harta. dunia ini mengikuti hukum alam, yaitu sebab akibat. Kecuali jika ada penetrasi dari luar maka hukum tersebut tidak berlaku. Namun anda harus secara terus menerus memberikan pengaruh dari luar tersebut tanpa henti. Begitu pengaruh dari luar dihilangkan, maka akan kembali mengikuti hukum alam. Begitu pula manusia juga tunduk terhadap hukum alam. Maka apa yang kita tabur, itulah yang akan kita petik. Apa yang kita lakukan itulah yang akan diterima. Dengan mengikuti hukum tersebut, kita dapat mempelajari , kenapa seseorang menjadi kaya, sementara yang lain miskin. Setelah diamati ternyata ada perbedaan perilaku atau kebiasaan yang menyolok antara orang kaya dan orang miskin. Dan kebiasaan-kebiasaan itulah yang menyebabkan seseoarng menjadi kaya. Dengan demikan jika anda melakukan kebiasaan-kebiasan tersebut maka anda berada pada jalur yang benar menuju keberlimpahan harta. ciri-ciri orang nya :
Biasa nya masyarakat di daerah kampung pedalaman sangat berbeda dengan masyarakat di kota ,kalau di kampung masyarakat itu saling kenal satu sama lain , tidak sombong . kemudian kalau di daerah kota kebanyakan para penduduk nya pun lupa waktu ,jarang kenal satu sama lain, dalam arti bisa di sebut sombong. Terkait dengan musibah Merapi yang melanda daerah Magelang, Klaten, Boyolali, dan Yogyakarta, pada tanggal 5 November 2010 pukul 14.00 diadakan rapat tanggap darurat sebagai antisipasi awal untuk membantu meringankan beban korban yang ada di wilayah tersebut. Dalam masyarakat kota membantu masyarakat yang terkena musibah sangatlah mudah karena mereka mempunyai cukup uang dari ada masyarakat desa ,yang hidup berkecukupan. masyarakat yang takut kehilangan barang berharga masyarakat yang mengungsi sangat takut kehilangan barang berharga nya, karena itu para pengungsi sangat was-was , kemudian musibah yang terjadi pun belum selesai juga , para pengungsi kawatir akan tempat tinggal nya, misalkan rumah tempat tinggal nya hilang atau tertutup awan panas , mereka bingung akan tinggal di mana. banyak pula panti jompo yang bersedih karena barang satu satu nya hilang terkena awan panas , para kakek-kakek dan nenek - nenek tidak bisa berharap lagi karena di sana lah mereka mencari nafkah untuk makan dan minum.tidak itu pun juga para pengungsi lain pun sama, |
Intensitas erupsi menurun
Intensitas erupsi Gunung Merapi di perbatasan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah mulai menurun dan stabil, namun kalangan masyarakat diminta tetap mewaspadainya, kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Subandrio.
Menurut dia, di Yogyakarta, Rabu, intensitas Gunung Merapi sudah mulai menurun dibandingkan beberapa waktu lalu, bahkan hingga Rabu pukul 06.00 WIB belum tercatat adanya luncuran awan panas, sedangkan gempa vulkanik telah terjadi empat kali, gempa tektonik dua kali, dan tremor terpantau secara beruntun.
Ia mengatakan tremor yang terjadi beruntun berkorelasi dengan hembusan asap tebal dan pekat yang disertai dengan abu vulkanik. Jika ada gempa "low frequency" kemungkinan berhubungan dengan adanya dinamika magma yangmemungkinkan untuk bergerak ke atas sehingga berpotensi membentuk kubah lava yang nantinya berpotensi juga terjadinya awan panas.
"Kondisi Gunung Merapi yang terpantau sejak 15 November 2010 hingga Rabu pagi relatif stabil, bahkan tercatat Merapi tak mengeluarkan awan panas namun status awas Gunung Merapi belum dicabut karena kemungkinan erupsi masih bisa terjadi," katanya.
Meskipun terpantau stabil, kata Subandrio, kalangan masyarakat diminta tetap waspada dengan aktivitas Gunung Merapi. Awan panas potensinya masih cukup besar dan dominan di wilayah Kali Gendol, sedangkan jauh luncuran tergantung volume kubah lavanya, yakni semakin besar volumenya maka jarak luncur semakin jauh.
Ia mengaku belum belum bisa melihat pertumbuhan kubah lava karena asap di kawah yang baru itu sangat pekat. Kawah di atas dengan diameter 400 meter tampak dua lubang. "Kami hanya melihat tumbuhnya magma dimana. Jika tumbuhnya di lubang bagian tenggara selatan di dekat kawah Gendol yang agak bawah otomatis akan mudah longsor," katanya.
Aktivitas Gunung Merapi yang terpantau petugas pengamatan Gunung Merapi menunjukkan cuaca berkabut menyelimuti gunung sepanjang Rabu dini hari hingga pagi. Meski demikian, sesekali cuaca cerah dan teramati asap setinggi satu kilometer berwarna kecokelatan condong ke barat hingga barat laut.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar